Jakarta - Nama merupakan penyebutan untuk memanggil seseorang sebagai identitas diri. Berdasarkan basis data kependudukan (database SIAK), terdapat nama-nama yang jumlah huruf terlalu banyak, panjang melebihi ketentuan karakter pada aplikasi dan formulir dokumen, contoh: Ikajek Bagas Paksi Wahyu Sarjana Kesuma Adi, Emeralda Insani Nuansa Singgasana Pelangi Jelita Dialiran Sungai Pasadena. Terdapat pula nama yang terdiri dari 1 huruf dan nama yang disingkat sehingga dapat diartikan berbagai macam, contoh A, M. Panji, A Hakam AS Arany, K D Katherina Hasan. Juga ada nama yang mempunyai makna negatif, contoh: Jelek, Orang Gila, H. Iblis, Aji Setan, Neraka IU. Banyak pula nama yang bertentangan dengan norma kesusilaan, contoh Pantat, Aurel Vagina, Penis Lambe. Ada juga nama yang merendahkan diri sendiri dan bisa menjadi bahan perundungan, contoh Erdawati Jablay Manula, Lonte, Asu, Ereksi Biantama. Selain itu ada nama-nama yang berpengaruh negatif pada kondisi anak, contoh Tikus, Bodoh, Orang Gila. Ada juga yang menamakan anak menggunakan nama Lembaga negara, mewakili atau menyerupai jabatan, pangkat, penghargaan, contoh: Mahkamah Agung, Bapak Presiden, Polisi, Bupati, Walikota.
*Dampak*
Memperhatikan contoh nama seperti tersebut di atas dapat mengakibatkan antara lain: nama yang terlalu panjang akan menyebabkan sulitnya penulisan nama lengkap pada basis data maupun dokumen fisik (Akta lahir, KTP-el, KIA, SIM, paspor, STNK, ijazah dan ATM Bank), menyebabkan perbedaan penulisan nama seseorang pada dokumen yang dimiliki oleh satu orang yang sama (Akta lahir, KTP-el, KIA, SIM, paspor, STNK, ijazah dan ATM Bank) akibat keterbatasan jumlah karakter pada masing-masing dokumen.
Sebagai contoh Panjang nama di KTP-el akan jatuh ke baris kedua dan terpotong jika lebih dari 30 karakter. Di samping itu nama-nama yang bermakna negatif, bertentangan dengan norma agama, kesopanan dan kesusilaan akan menjadi beban pikiran terhadap perkembangan anak sampai ia dewasa, seumur hidup bahkan sampai dia berketurunan, karena nama diberikan hanya sekali dalam seumur hidup.
*Tujuan*
Adapun tujuan aturan ini dibuat adalah supaya pencatatan nama pada dokumen kependudukan dapat memberikan kepastian hukum.
Dirjen Zudan menjelaskan bahwa "setiap penduduk memiliki identitas diri dan negara harus memberikan pelindungan dalam pemenuhan hak konstitusional dan tertib administrasi kependudukan. Selain itu, pencatatan nama pada dokumen kependudukan perlu diatur sebagai pedoman bagi penduduk dan pejabat yang berwenang melakukan pencatatan untuk memudahkan pelayanan publik. Tujuan aturan ini dibuat untuk sebagai pedoman pencatatan nama, pedoman dalam penulisan nama pada dokumen kependudukan, meningkatkan kepastian hukum pada dokumen kependudukan, memudahkan dalam pelayanan administrasi kependudukan, perlindungan hukum, pemenuhan hak konstitusional dan mewujudkan tertib administrasi kependudukan" Urai Zudan
*Isi Pokok*
Melalui Permendagri Nomor 73 Tahun 2022, Tentang Pencatatan Nama Pada Dokumen Kependudukan dijelaskan bahwa pencatatan Nama adalah penulisan nama Penduduk untuk pertama kali pada Dokumen Kependudukan.
Pencatatan nama pada Dokumen Kependudukan dilakukan sesuai prinsip norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Antara lain syaratnya mudah dibaca, tidak bermakna negatif, dan tidak multitafsir, jumlah huruf paling banyak 60 (enam puluh) huruf termasuk spasi dan jumlah kata paling sedikit 2 (dua) kata. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan anak dalam pelayanan publik lainnya, contohnya pendaftaran sekolah, ketika si Anak diminta guru menyebutkan namanya, dalam pembuatan ijazah, paspor dan lain sebagainya. Jika ada nama orang hanya satu kata, disarankan, dihimbau untuk minimal 2 (dua) kata, namun jika pemohon bersikeras untuk satu kata, boleh. Hal ini hanya bersifat himbauan dan namanya tetap bisa dituliskan dalam dokumen kependudukan.
Alasan minimal dua kata adalah lebih dini dan lebih awal memikirkan, mengedepankan masa depan anak, contoh ketika anak mau sekolah atau mau ke luar negeri untuk membuat paspor minimal harus 2 suku kata, nama harus selaras dengan pelayanan publik lainnya.
Tata cara pencatatan nama pada Dokumen Kependudukan meliputi, menggunakan huruf latin sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, nama marga, famili atau yang disebut dengan nama lain dapat dicantumkan pada Dokumen Kependudukan, dan gelar pendidikan, adat dan keagamaan dapat dicantumkan pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik yang penulisannya dapat disingkat.
Lebih jauhnya dalam tata cara pencatatan nama pada dokumen kependudukan ini dilarang disingkat, kecuali tidak diartikan lain, artinya bahwa boleh disingkat namun harus konsisten dengan singkatan tersebut, tidak boleh berubah-ubah selamanya karena akan berlaku seumur hidup pada dokumen kependudukan dan dokumen pelayanan publik lainnya. Contoh nama seseorang Abdul Muis, jika pemohon meminta untuk disingkat namanya menjadi Abd Muis boleh saja, namun selamanya akan Abd Muis. Inilah namanya. Abd tidak dianggap lagi sebagai singkatan tetapi sudah menjadi nama.
Disamping itu tidak boleh menggunakan angka dan tanda baca. Dan juga tidak boleh mencantumkan gelar pendidikan dan keagamaan pada akta pencatatan sipil. Akta pencatatan sipil itu antara lain akta kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian
Untuk penerapan aturan ini tentunya pejabat pada Disdukcapil Kabupaten/Kota, UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota, atau Perwakilan Republik Indonesia agar melakukan pembinaan kepada Penduduk mengenai prinsip, persyaratan, dan tata cara pencatatan nama. Dimana pembinaan yang dimaksud dilakukan untuk memberikan saran, edukasi dan informasi guna pelindungan kepada anak sedini mungkin.
Agar pencatatan nama pada dokumen psi Anak sesuai dengan aturan.
Bagi penduduk yang memaksakan mencatatkan nama anaknya lebih dari 60 karakter termasuk spasi dan disingkat atau diartikan lain; menggunakan angka dan tanda baca dan mencantumkan gelar pendidikan dan keagamaan pada akta pencatatan sipil, padahal Pejabat dan petugas dukcapil telah memberikan saran, edukasi dan informasi kepada masyarakat tersebut. Namun masih mengabaikan maka dokumen kependudukan belum dapat diterbitkan, sampai masyarakat mematuhi sesuai aturan. Hal tersebut dilakukan untuk kebaikan dan perlindungan bagi perkembangan anak ke depan. Lebih tegas kepada pejabat dan petugas yang tetap mencatatkannya dan tidak sesuai aturan maka diberikan sanksi administratif berupa teguran secara tertulis dari Menteri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
*Tetap Berlaku*
Pada saat permendagri ini mulai berlaku maka Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan yang telah dilaksanakan sebelumnya, dinyatakan tetap berlaku. Maksudnya bagi nama Penduduk yang sudah tercatat pada data kependudukan y sebelum diundangkannya pemendagri nomor 73 tahun 2022 maka dokumen yang telah terbit sebelumnya dinyatakan tetap berlaku. Permendagri ini diundangkan pada tanggal 21 April 2022.
Menteri Dalam Negeri Prof HM Tito Karnavian meminta jajaran Dukcapil Pusat dan Daerah untuk segera mensosialisasikan aturan ini agar masyarakat bisa memahami dengan baik dan mengimplementasikannya.*Dukcapil*.