Presiden Joko Widodo (tengah) memimpin rapat kabinet terbatas mengenai percepatan penanganan dampak pandemi COVID-19 di Istana Merdeka |
WORLD NEWS - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut Indonesia akan dilanda resesi ekonomi bulan depan. Hal itu terjadi karena ekonomi yang terus turun imbas pandemi virus Corona (COVID-19). Sementara itu, pengamat ekonomi minta menteri ekonomi Jokowi harus mundur jika tidak mampu mengatasi resesi ekonomi.
Pengamat kebijakan publik dari Political and Public Policy Stuidies (P3S) DR Jerry Massie PhD mengatakan, saat ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang memahami conflict and crisis management (manajemen konflik dan krisis). Untuk mengatasinya, pemerintah bisa mengundang pakar ekonomi baik itu ekonomi makro, mikro, moneter, pajak, perbankan dan lainnya baik di dalam dan luar negeri.
"Saat ini ada DR Rizal Ramli, Prof Sri Edi Swasono, DR Fuad Bawazier, Prof Anthony Budiawan, Miranda Gultom, Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana, Prof Boediono dari INDEF, minta pendapat mereka untuk mengatasi resesi ekonomi," tandasnya.
Jerry memaparkan, pada dasarnya resesi ekonomi bisa diantisipasi. Jika cepat diantisipasi pada bulan Maret, maka bulan April dimungkinkan masih bisa diantipasi. Namun saat ini kondisinya seperti terkena penyakit kanker yang hampir stadium 4. Oleh karena itu tinggal tergantung dari tim ekonomi Jokowi yang bisa melakukannya.
"Kalau mereka (tim ekonomi Jokowi) tak mampu maka saya berharap mereka mundur," tegasnya.
Jerry mengakui, sudah menjadi resiko jika tim ekonomi Jokowi mundur maka akan membuat tambah parah resesi ekonomi. Karena bagaimana pun untuk saat ini diyakini akan sulit ekonomi untuk bangkit. Oleh karena itu perlu ada metode baru untuk mengatasi resesi ekonomi.
"Sekarang butuh pemimpin pemikir yang cepat dan tepat konsepnya terarah serta terukur," tandasnya.
Jerry menegaskan, harusnya pemerintah irit anggaran spending money dan hindari wasting money (membuang anggaran). Contoh kartu prakerja Rp5,6 triliun juga institution policy (kebijakan institusi) yang tak mampu mengatur anggaran. Selain itu Kemenag juga akan menganggarkan Rp2,599 untuk pesantren, guru dan siswa.
Dia menuturkan, pemerintah lewat Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani membantah krisis ekonomi adalah model kepemimpinan yang pintar berkelit. Harusnya sebagai penyelenggara negara mengakui adanya krisis ekonomi dan tidak bakal dapat dihindari. Karena dengan pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen itu memang hampir krisis entah itu bulan depan atau Oktober.
'Lihat saja, Thailand, Filipina dan Singapura yang kuat ekonominya berakhir resesi," paparnya.
Antisipasi
Terpisah, analis Ekonomi dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra mengatakan, perekonomian Indonesia dipastikan bakal memasuki resesi ekonomi. Oleh karena itu kemungkinan pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua 2020 akan minus sampai -4 atau -5 persen.
Gede menegaskan, resesi tidak bisa dihindari, walaupun pemerintah memberikan stimulus Rp800 ribu/bulan untuk masyarakat menengah ke bawah. Namun antipati yang dilakukan pemerintah seperti memberikan stimulus Rp800 ribu/bulan untuk masyarakat menengah ke bawah adalah salah satu cara untuk secepatnya mengangkat ekonomi dari resesi.
"Tentu itu (stimulus Rp800 ribu/bulan untuk masyarakat menengah ke bawah) adalah cara untuk secepatnya mengangkat ekonomi dari resesi," tandasnya.
Gede memaparkan, untuk mengantisipasi agar hantaman resesi ekonomi tidak semakin parah maka logika penyelamatan ekonomi pemerintah harus dibalik.
"Karena selama ini stimulus ekonomi diprioritaskan untuk orang kaya pemilik perusahaan-perusahaan besar, bukannya memprioritaskan rakyat ekonomi menengah ke bawah untuk meningkatkan daya beli," kata Gede Sandra kepada Harian Terbit beberapa waktu lalu.
"Padahal orang kaya itu bila diberikan bantuan, pasti akan digunakan untuk spekulasi lagi, apakah itu membeli saham perusahaannya sendiri (buyback), membeli emas, valas, dan aset properti (yang harganya sudah jatuh 50%)" tambahnya.
Menurutnya, tidak mungkin orang kaya akan mengalokasikan stimulus tersebut untuk menambah kapasitas produksi perusahaannya, karena memang tidak ada daya beli atau tidak ada permintaan. Namun bila stimulus diprioritaskan untuk meningkatkan daya beli masyarakat menengah ke bawah, pasti masyarakat akan menggunakan stimulus tersebut untuk konsumsi yang pada akhirnya ada permintaan, sehingga perusahaan akan kembali hidup.
"Upaya lainnya untuk meningkatkan daya beli masyarakat menengah kebawah adalah stimulus sebesar Rp800 ribu perbulan, yang ditransfer ke rekening bank, harus diberikan untuk setiap masyarakat miskin dan hampir miskin," paparnya.
Bulan Depan
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut Indonesia akan dilanda resesi ekonomi bulan depan. Hal itu terjadi karena ekonomi yang terus turun imbas pandemi virus Corona (COVID-19).
"Bulan depan hampir dapat dipastikan 99,9% akan terjadi resesi ekonomi di Indonesia," katanya saat memberikan sambutan dalam acara temu seniman dan budayawan Yogya di Warung Bu Ageng, Kota Yogyakarta, Sabtu (29/8/2020).
Selain Mahfud, sebenarnya berbagai pengamat telah menyebut Indonesia terancam resesi. Jika sudah begitu, dampak ngerinya adalah banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Kemungkinan bagi pekerja yang memiliki kontrak jangka pendek, tidak akan diperpanjang.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan PHK banyak terjadi saat resesi karena permintaan atau konsumsi dari masyarakat akan menurun. Para pengusaha pun terpaksa harus melakukan efisiensi terhadap karyawannya.
"Masyarakat bawah daya belinya turun, masyarakat atas punya uang tapi dia berhati-hati dalam spending sehingga pelaku usaha itu kan bergantung kepada pembelian konsumen. Kalau yang beli sepi maka pelaku usaha, produsen-produsen, pabrik-pabrik yang jualan pasti akan turun dari sisi penjualan, kalau turun terpaksa dia melakukan efisiensi salah satunya PHK karyawan," jelasnya.
Gelisah
Ekonom senior Didik J Rachbini pada Sabtu (29/8) malam, menyampaikan kegelisahannya soal kondisi penanganan pandemi COVID-19 dan ekonomi Indonesia lewat video singkat yang dicuitkannya di akun @DJRachbini.
Sambil menunjukkan grafik harian kasus COVID-19 terkonfirmasi di sejumlah negara, ia menunjukkan perbandingkan kondisi Indonesia dengan negera tetangga, yang pada Kamis (27/8) mengalami peningkatan tertinggi menembus angka 3.000. Sementara Thailand, Malaysia, Vietnam, Australia, Singapura jumlah kasus hanya tinggal hitungan jari.
Golden time dari lockdown di Indonesia sudah tidak ada lagi, ujar Didik. Masyarakat sudah berkegiatan seperti biasa, bercampur baur di lapangan, dan saat bersamaan kasus positif COVID-19 terus meningkat.
"Apa implikasinya? Jika ini tidak terkendali, kita tidak bisa menyelesaikan masalah ekonomi. Dan ini akan menjadi keprihatinan dari masyarakat luas," ujar pendiri INDEF tersebut.